“Paman Patih,” sapa Raja Zhorifiandi. “Kita harus mencari pengganti Pak Jenggot. Dia sudah terlalu tua dan letih untuk mengamati gunung berapi.” Gunung berapi di negeri Kalomolomo harus diamati terus-menerus. Berdasarkan perhitungan para ahli, gunung itu akan meletus dalam waktu dekat.
“Baik, Tuanku. Tetapi, siapa yang pantas menggantikannya?”
“Tentu orang yang teliti, seperti Pak Jenggot. Dia harus bisa melihat semua perubahan kecil di sekitar gunung.”
Paman Patih langsung membuat pengumuman dan menyiarkannya ke seluruh negeri Kalomolomo. Pada waktu yang ditentukan, seratus orang datang melamar sebagai pengganti Pak Jenggot. Wah, banyak sekali, padahal yang diperlukan hanya satu orang saja.
Tanpa hilang akal, Paman Patih membuat ujian. Paman menyiapkan delapan gambar gunung yang sekilas tampak sama. Padahal, satu gambar memiliki perbedaan. Pada gambar itu, Paman Patih menambahkan satu batu di sekitar gunung.
Seluruh pesereta diberi waktu untuk mengamati delapan gambar dan memilih satu gambar yang berbeda. Dari seleksi ini ada delapan peserta lulus ujian pertama.
“Hmm, masih terlalu banyak,” gumam Paman Patih. Dengan cepat, Paman Patih menyiapkan ujian kedua. Paman mengambil dua lembar kertas. Satu kertas berwarna putih dan yang lain berwarna hitam. Di atas kertas putih, Paman Patih menggambar garis hitam, sepanjang 20 sentimeter. Sedangkan di atas kertas hitam, Paman membuat garis putih sepanjang 20 sentimeter.
Setelah melihat kedua garis tersebut, peserta memilih satu garis yang paling panjang. Peserta pertama maju dan menuliskan jawaban di secarik kertas, “Garis putih, pasti.”
Peserta kedua menulis, “Tidak salah lagi: garis hitam.”
Peserta ketiga juga menulis jawabannya. Demikian seterusnya sampai peserta kedelapan.
Paman Patih memeriksa jawaban mereka dengan teliti. Hanya Hartoyo dan Marthen yang menulis jawaban dengan benar. Paman Patih menghadap raja untuk melaporkan hasil ujian.
“Pilihlah satu orang yang bisa memegang janji, Paman,” kata Raja Zhorifiandi.
“Tetapi saya sudah tidak punya soal ujian lagi, Tuanku” jawab Paman Patih. Ia menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal. Paman Patih bingung. Dia belum juga menemukan soal ujian untuk memilih orang yang bisa menepati janji.
Sementara menunggu ujian selanjutnya, kedua peserta diminta belajar dari Pak Jenggot. Mereka harus mengamati gunung berapi dengan teliti. Untuk itu, mereka harus berjanji untuk tidak tidur selama dua hari.
Hari pertama berjalan lancar. Kedua peserta mematuhi perintah. Mereka belajar dengan semangat. Tidak sekali pun mereka meninggalkan lokasi pengamatan. Mata mereka selalu tertuju pada gunung berapi. Mereka mendapat penjelasan dari Pak Jenggot dan membuat catatan.
Pada hari kedua, Paman Patih menemui Hartoyo dan Marthen di lokasi pengamatan. “Hari ini saya harus menemani raja ke daerah selatan. Di sana ada wabah penyakit yang harus dibasmi segera...,” kata Paman Patih.
“Tetapi, Paman,” kata Marthen. “Hamba khawatir kalau raja pergi ke sana...”
“Kenapa?” tanya Paman Patih.
“Dalam mimpiku semalam, raja tertular penyakit itu. Bahaya sekali, Paman,” kata Marthen.
Paman Patih tersenyum dan matanya berkilat. “Baiklah, akan kusampaikan mimpimu itu kepada raja.” Paman menepuk pundak Marthen. “Dan saya pun sudah tahu orang yang bisa menggantikan Pak Jenggot.”
“Siapa Paman?” tanya Hartoyo dan Marthen serempak.
“Hartoyo karena dia menepati janji.”
“Hamba juga, Paman,” protes Marthen, kesal.
Paman Patih menggeleng. “Bukankah semalam kamu tidur hingga bermimpi?” tanya Paman Patih.
“Baik, Tuanku. Tetapi, siapa yang pantas menggantikannya?”
“Tentu orang yang teliti, seperti Pak Jenggot. Dia harus bisa melihat semua perubahan kecil di sekitar gunung.”
Paman Patih langsung membuat pengumuman dan menyiarkannya ke seluruh negeri Kalomolomo. Pada waktu yang ditentukan, seratus orang datang melamar sebagai pengganti Pak Jenggot. Wah, banyak sekali, padahal yang diperlukan hanya satu orang saja.
Tanpa hilang akal, Paman Patih membuat ujian. Paman menyiapkan delapan gambar gunung yang sekilas tampak sama. Padahal, satu gambar memiliki perbedaan. Pada gambar itu, Paman Patih menambahkan satu batu di sekitar gunung.
Seluruh pesereta diberi waktu untuk mengamati delapan gambar dan memilih satu gambar yang berbeda. Dari seleksi ini ada delapan peserta lulus ujian pertama.
“Hmm, masih terlalu banyak,” gumam Paman Patih. Dengan cepat, Paman Patih menyiapkan ujian kedua. Paman mengambil dua lembar kertas. Satu kertas berwarna putih dan yang lain berwarna hitam. Di atas kertas putih, Paman Patih menggambar garis hitam, sepanjang 20 sentimeter. Sedangkan di atas kertas hitam, Paman membuat garis putih sepanjang 20 sentimeter.
Setelah melihat kedua garis tersebut, peserta memilih satu garis yang paling panjang. Peserta pertama maju dan menuliskan jawaban di secarik kertas, “Garis putih, pasti.”
Peserta kedua menulis, “Tidak salah lagi: garis hitam.”
Peserta ketiga juga menulis jawabannya. Demikian seterusnya sampai peserta kedelapan.
Paman Patih memeriksa jawaban mereka dengan teliti. Hanya Hartoyo dan Marthen yang menulis jawaban dengan benar. Paman Patih menghadap raja untuk melaporkan hasil ujian.
“Pilihlah satu orang yang bisa memegang janji, Paman,” kata Raja Zhorifiandi.
“Tetapi saya sudah tidak punya soal ujian lagi, Tuanku” jawab Paman Patih. Ia menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal. Paman Patih bingung. Dia belum juga menemukan soal ujian untuk memilih orang yang bisa menepati janji.
Sementara menunggu ujian selanjutnya, kedua peserta diminta belajar dari Pak Jenggot. Mereka harus mengamati gunung berapi dengan teliti. Untuk itu, mereka harus berjanji untuk tidak tidur selama dua hari.
Hari pertama berjalan lancar. Kedua peserta mematuhi perintah. Mereka belajar dengan semangat. Tidak sekali pun mereka meninggalkan lokasi pengamatan. Mata mereka selalu tertuju pada gunung berapi. Mereka mendapat penjelasan dari Pak Jenggot dan membuat catatan.
Pada hari kedua, Paman Patih menemui Hartoyo dan Marthen di lokasi pengamatan. “Hari ini saya harus menemani raja ke daerah selatan. Di sana ada wabah penyakit yang harus dibasmi segera...,” kata Paman Patih.
“Tetapi, Paman,” kata Marthen. “Hamba khawatir kalau raja pergi ke sana...”
“Kenapa?” tanya Paman Patih.
“Dalam mimpiku semalam, raja tertular penyakit itu. Bahaya sekali, Paman,” kata Marthen.
Paman Patih tersenyum dan matanya berkilat. “Baiklah, akan kusampaikan mimpimu itu kepada raja.” Paman menepuk pundak Marthen. “Dan saya pun sudah tahu orang yang bisa menggantikan Pak Jenggot.”
“Siapa Paman?” tanya Hartoyo dan Marthen serempak.
“Hartoyo karena dia menepati janji.”
“Hamba juga, Paman,” protes Marthen, kesal.
Paman Patih menggeleng. “Bukankah semalam kamu tidur hingga bermimpi?” tanya Paman Patih.
wow, cerdik juga ya cara mengetesnya :D
BalasHapusHehehe... ;)
Hapus