Penulis: Erna Fitrini
(Bobo 33/XXXIX 24 Nov 2011)
“Sekarang
giliranmu, Pi.” Mirza memberikan dadu kepada temannya. Sejak dari
pulang sekolah, Mirza dan tiga temannya asik bermain
monopoli.
Tiba-tiba
terdengar suara ramai di muka rumah.
Mirza langsung meninggalkan teman-teman dan berlari ke teras. Pak Zainul, ayah Mirza sedang membersihkan
linggis di teras. “Ada apa, Yah?”
“Entahlah....” Pak Zainul meletakkan linggis.
Penduduk desa berlari ke arah rawa
yang berada di dekat gedung sekolah.
Mereka membawa golok, bambu, linggis dan sekop.
“Hei, ada apa?” tanya Pak
Zainul.
Salah satu dari mereka menoleh
sebentar. Dia mengatakan sesuatu, tapi
tidak jelas terdengar karena ramainya suara orang-orang berteriak. Yang terdengar jelas hanya kata, “Rawa!”
Dengan cepat Ayah mengenakan sepatu
bot karet dan mengambil linggis.
“Yah, aku ikut,” minta Mirza.
“Tidak. Kamu di rumah saja. Teruslah bermain,” kata Ayah sebelum berlari
menyusul penduduk desa lainnya.
Pak Zainul dan Mirza tidak banyak
mengetahui tentang rawa itu. Mereka baru
sebulan tinggal di desa ini. Menurut
cerita yang beredar, rawa itu sangat menyeramkan. Tidak seorang pun berani masuk ke
dalamnya. Ada seekor buaya besar yang
hidup di tengah rawa. Seorang anak yang
sedang bermain di pinggir rawa pernah menjadi korban buaya itu.
Setiap jam istirahat guru selalu mengingatkan murid-murid
untuk tidak bermain di dekat rawa. Orang
tua pun juga selalu mengingatkan anak-anak mereka untuk menjauhi rawa. Tetapi, bagaimana mungkin? Lokasi rawa itu dekat sekali dengan gedung
sekolah. Dan di pinggir rawa banyak
tumbuhan benang kusut yang buahnya manis sekali. Di rawa itu juga banyak hidup kerang warna
hitam yang bentuk dan ukurannya seperti jari kelingking. Kalau direbus, rasa kerang itu seperti cumi-cumi. Enak sekali.
Nah, sebelum pulang ke rumah, anak-anak sering mengumpulkan buah benang
kusut dan kerang.
***
Sudah banyak orang yang berkumpul di pinggir rawa. Mereka menggunakan linggis dan bambu untuk
memukul-mukul tanah pinggir rawa. Tak
seorang pun berani masuk ke dalam rawa.
Mereka juga meneriakkan sebuah nama secara beramai-ramai, sehingga nama
itu tidak jelas terdengar.
Pak Heru, ketua kelompok dibujuk untuk melakukan
pencarian ke tengah rawa. Muka Pak Heru
memerah. Keringat mengucur deras di
dahinya. Penduduk terus saja membujuk
Pak Heru. Akhirnya Pak Heru tidak bisa
mengelak lagi. Dia memutuskan untuk
masuk ke dalam rawa. Dengan langkah goyah,
Pak Heru masuk ke dalam rawa. Dua orang
mengikutinya dari belakang. Sedangkan yang
lain tetap berdiri di pinggir rawa dan mulai membaca doa agar Pak Heru dan
lain-lain selamat.
Setelah tiga langkah, Pak Heru tiba-tiba berhenti. Dia mengangkat tanan kanannya dan berkata,
“Berhenti. Kita kembali ke pinggir
rawa.”
“Ada apa? Ada
apa?” tanya Pak Edi dari pinggir rawa.
“Kita lanjutkan pencarian besok,” kata Pak Heru. “Eee... hari mulai gelap.” Pak Heru menunduk. Keringat membasahi bajunya.
“Tapi ini baru jam 2.
Masih terang!” protes Pak Zaldi.
“Eee, anu. Firasat
saya bilang, kita harus hentikan sekarang.
Besok dilanjutkan,” kata Pak Heru.
“Jam 6 pagi, kita kumpul di sini.
Bawa alat.”
Dari jauh Pak Zainul memperhatikan raut muka Pak
Heru. Tampak jelas kalau Pak Heru
takut. “Hmm, mungkin benar. Di rawa ini ada buaya yang besar,” pikir Pak
Zainul.
Penduduk desa berjalan menuju rumah masing-masing. Pak Zainul dan Pak Zaldi berjalan bersisian.
“Siapa yang dicari?” tanya Pak Zainul.
“Gak tahu.” Pak
Zaldi mengangkat bahu. “Tadi saya hanya
ikut saja.”
Pak Zainul mencolek punggung Pak Edi yang berjalan di
depannya. “Siapa yang dicari, Pak?”
Pak Edi menoleh.
“Upi. Sejak tadi belum kembali ke
rumah.”
“Upi, anaknya Bu Tyas?” tanya Pak Zainul.
Pak Edi mengangguk
“Dia ada di rumah saya.
Main dengan Mirza,” kata Pak Zainul tersenyum.
“Haa?” Penduduk
desa kaget.
“Kita mati-matian mencarinya. Ternyata dia asik main,” kata Pak Heru.
“Itulah kalau anak-anak tidak pamit pada orang tua. Orang sedesa jadi ribut begini...,” keluh Pak
Zaldi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar